bab II

Bab II Kota Makassar pada 2008 ini konon sudah berusia 401 tahun. Untuk menelusuri kembali sejarah kota berjuluk “Kota Daeng” dan “Kota Angingmammiri” itu, SAYA TERTARIK untuk merangkumnya.
Makassar adalah nama tempat bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Kerajaan kembar itulah yang kemudian menyandang nama Kerajaan Makassar.
Nama Makassar sudah disebut dalam naskah kuno Jawa, Negara Kertagama, yang ditulis oleh Prapanca, pada 1364. Naskah itu juga menyebut nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar.
”Nama tempat yang yang disebut Makassar (dalam naskah itu, red) belum dapat diidentifikasi hingga sekarang,” kata sejarawan dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Edward L Poelinggomang.
Dalam tradisi pelaut dan pedagang yang berniaga ke Maluku, kawasan yang pulau-pulaunya berada di utara Pulau Sumbawa disebut dengan nama Makassar.
Tradisi penyebutan pulau-pulau tersebut dari para pelaut dan pedagang, kemudian diserap oleh pelaut dan pedagang Portugis setelah merebut dan menduduki Malaka.
Dalam catatan Tome Pores, diungkapkan bahwa pedagang-pedagang Melayu menginformasikan adanya jalur paling singkat dalam pelayaran ke Maluku, yaitu melalui Makassar (Cortesao, 1944).
Informasi itu mendorong pelaut dan pedagang Portugis menelusuri jalur pelayaran tersebut, sehingga dalam peta pelayaran pengembara Portugis, Pulau Kalimantan diberi nama ”Pulau Makassar yang Besar” (Gramdos ilha de Macazar), sedangkan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya disebut ”Pulau-pulau Makassar (Ilhas dos Macazar).
Selain itu, kota-kota pelabuhan yang berada di pesisir barat Sulawesi yang menjadi tempat singgah dalam pelayaran ke Maluku, juga diberikan predikat Makassar, antara lain Siang Makassar, Bacukiki Makassar, Suppa Makassar, Sidenreng Makassar, Napo Makassar, dan Tallo Makassar.
Edward L Poelinggoman mengatakan, bandar niaga Makassar terbentuk dari dua bandar niaga dari kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir muara Sungai Bira (Sungai Tallo), serta bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir muara sungai Jeneberang.
Dua kerajaan tetangga itu kemudian berhasil membentuk persekutuan pada 1528, setelah melalui pemufakatan penyelesaian konflik (perang). Kesepakatan itu berpengaruh bagi rakyatnya dan semua yang mengenal dua kerajaan kembar itu, sehingga muncul ungkapan ‘’satu rakyat, dua raja” (se’reji ata narua karaeng).
Persekutuan yang dibangun itu bersifat menyatukan dua kerajaan dalam kehidupan kenegaraan, tetapi tetap mengakui kedudukan kekuasaan masing-masing sebagai kerajaan.
Kerajaan Gowa ditempatkan sebagai pemegang kendali kekuasaan kerajaan kembar itu (sombaya), sedangkan Raja Tallo sebagai pejabat mangkubumi (tuma’bicara butta) Selengkapnya...

mengenal kota makassar

Mungkin sebagian besar pembaca belum paham, darimana sesungguhnya asal kata “Makassar” itu. Dibawah ini, uraian yang dikutip dari situs Pemerintah Kota Makassar yang mengungkap asal-usul kata “Makassar” itu.
Menyambut usia ke-400 tahun (09 Nopember 2007), Kota Makassar masih terbilang muda jika dibandingkan sejarah nama Makassar yang jauh menembus masa lampau. Tapi tahukah Anda muasal dan nilai luhur makna nama Makassar itu?
Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma’bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum’at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.
Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda “Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama “Makassar”, yakni diambil dari nama “Akkasaraki Nabbiya”, artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma’mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato’ ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama “Makassar” dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1. Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu “Ampakasaraki”, yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. “Mangkasarak” mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa “Mangkasarak” orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
2. Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama ” Makassar”. Abad ke-16 “Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
3. Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem ikat “mang” dan morfem bebas “kasarak”. Morfem ikat “mang” mengandung arti:
1. Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
2. Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. -Morfem bebas “kasarak” mengandung arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus).
Jadi, kata “Mangkasarak” Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak” berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.
John A.F. Schut dalam buku “De Volken van Nederlandsch lndie” jilid I yang beracara: De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: “Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai ¬sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah”.
Dalam ungkapan “Akkana Mangkasarak”, maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata “Mangkasarak” ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat. Selengkapnya...