Orang bugis memiliki berbagai cirri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat diwilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.
Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.
Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut agama islam Orang bugis bersama orang aceh dan minang kabau dari Sumatra, Orang melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda dijawa Barat, Madura di jawa timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya.
Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).
Bagi suku-suku lain disekitarnya orang bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan mereka orang bugis bersedia melakukan tindak kekerasan walaupun nyawa taruhannya. Namun demikian dibalik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.
Orang eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah bugis adalah orang Potugis. Para pedagang eropa itu mula-mula mendarat dipesisir barat sulawesi selatan pada tahun 1530. akan tetapi pedangan portugis yang berpangkalan dimalaka baru menjalin hubungan kerjasama dalam bidang perdagangan secara teratur pada tahun 1559
ASAL USUL ORANG BUGIS
Asal usul orang bugis hingga kini masih tidak jelas dan tidak pasti berbeda dengan wilayah Indonesia. Bagian barat Sulawesi selatan tidak memiliki monument (hindu atau budha) atau prasasti baik itu dari batu maupun dari logam, yang memungkinkan dibuatnya suatu kerangka acuan yang cukup memadai untuk menelusuri sejarah orang bugis Sejak abad sebelum masehi hingga kemasa ketika sumber-sumber tertulis barat cukup banyak tersedia. Sumber tertulis setempat yang dapat diandalkan hanya berisi informasi abad ke 15 dan sesudahnya,
KRONIK BUGIS
Hampir semua kerajaan bugis dan seluruh daerah bawahannya hingga ketika paling bawah memiliki kronik sendiri. Mulai dari kerajaan paling besar dan berkuasa sampai dengan kerajaan paling terkecil akan tetap hanya sedikit dari kronik yang memandang seluruh wilayah di sekitarnya sebagai suatu kesatuan. Naskah itu yang dibuat baik orang makassar maupun orang bugis yang disebut lontara oleh orang bugis berisi catatan rincian mengenai silsilah keluarga bangsawan, wilayah kerajaan, catatan harian, serta berbagai macam informasi lain seperti daftar kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah bawahan, naskah perjanjian dan jalinan kerjasama antar kerjaan dan semuanya disimpan dalam istana atau rumah para bangsawan
SIKLUS LA GALIGO
Naskah La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup pada suatu masa selama 6 (enam) generasi turun temurun, Pada berbagai kerajaan di sulawesi selatan dan daerah pulau-pulau disekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke 20 Masehi naskah la galigo secara luas diyakini oleh masyarakat bugis sebagai suatu alkitab yang sacral dan tidak boleh dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu.
Hingga kini versi lengkap siklus la galigo belum ditemukan dari naskah-naskah yang masih ada. Banyak diantaranya hanya berisi penggalan-penggalan cerita yang dimulai dan diakhiri dengan tiba-tiba atau hanya berisi sebagian kecil dari cerita dari episode yang kadang-kadang tidak bersambung. Namun demikian banyak sastrawan bugis dan orang awam didaerah-daerah tertentu yang mengetahui sebagian besar dalam cerita siklus tersebut mereka memperolehnya dari tradisi lisan.
Siklus la galigo telah melalui proses penyusunan secara bertahap sebelum pada akhirnya menjadi sebuah karya besar. Mula-mula hanya garis besar latar dan jalan cerita saja yang diciptakan, termaksud silsilah para tokoh utamanya.
Untuk mengkaji sastra bugis itu para ilmuan beruntung dapat mengandalkan hasil jerih payah ilmuan asal belanda R.A. Kern yang menerbitkan catalog lengkap mengenai seluruh naskah la galigo yang kini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan eropa dan perpustakaan Matthes di makassar. Dari 113 Naskah yang ada yang terdiri atas 31.500 Halaman R.A Kern Menyaring dan membuat ringkasan setebal 1356 Halaman yang merincikan Ratusan Tokoh yang terdapat dalam seluruh cerita.
La Galigo merupakan epos terbesar didunia dan epos tersebut lebih panjangan dari Epos Mahabharata. Naskah la galigo terpanjang yaitu dikarang pada pertengahan abad ke 19 atas tanggung jawab seorang perempuan raja bugis yang bernama I Colli Puji’e Arung Tanete naskah setebal 2851 Halaman polio tersebut diperkirakan mengandung sepertiga dari pokok cerita seluruhnya.
HIPOTESIS REKONSTRUKSI PRASEJARAH BUGIS
Sejak awal mungkin 50.000 tahun yang lalu sulawesi selatan sebagaimana daerah lain dipulau asia tenggara telah dihuni manusia yang sezaman dengan manusia wajak di jawa mereka mungkin tidak terlalu beda dengan penghuni Australia pada masa itu di asia tenggara, mereka mengalami proses penghalusan bentuk wajah dan tengkorak kepala meski memiliki Fenotipe Australoid.
Pada permulaan abad ke 20, penjelajah asal swiss yakni Paul Sarasin dan sepupuhnya Fritz Sarasin mengemukakan sebuah hipotesis bahwa to’ale (Manusia Penhuni hutan) sekelompok kecil manusia yang hidup diberbagai gua dipegunungan Lamocong (Bone bagian selatan) adalah keturunan langsung dari manusia penghuni gua pra sejarah dan ada hubungannya dengan manusia Veddah di srilangka
CARA HIDUP DAN KEBUDAYAAN AWAL BUGIS
Kehidupan sehari-hari orang bugis pada hamper seluruh millennium pertama masehi mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan cara hidup orang toraja pada permulaan abad ke 20. mereka hidup bertebaran dalam berbagai kelompok di sepanjang tepi sungai, dipinggirin danau, di pinggiran pantai dan tinggal dalam rumah-rumah panggung. Sebagai pelengkap beras dan tumbuhan lading lain. Merekapun menangkap ikan dan mengumpulkan kerang. Orang bugis dikenal sebagai pelauk ulung dengan menggunakan Phinisi mereka mengarungi samudra dengan gagah beraninya disamping itu pula orang bugis sangat pandai dalam bertani dan berladang. Bertenun kain adalah salah satu keterampilan nenek moyang orang bugis.
Orang bugis pada masa awal itu kemungkinan besar juga mengayau kepala untuk dipersembahkan acara ritual pertanian dan kesuburan tanah. Pada umumnya orang bugis mengubur mayat-mayat yang sudah meninggal, meski ada pula mayat yang di benamkan (danau atau laut) atau disimpan di pepohonan. Situs-situs megalitikum yang pernah nenek moyang mereka mungkin merupakan saksi kegiatan penguburan ganda atau penguburan sekunder. Kepercayaan mereka masih berupa penyembahan arwah leluhur. Terhadap para arwah itu sesajen-sesajen dipersembahkan lewat perantara dukun.
BUDAYA BENDAWI
Pakaian
Gambaran tentang tokoh-tokoh dalam La galigo dapat diperoleh dengan melihat pakaian yang dikenakan Pengantin Bangsawan tinggi masa itu, yang selalu meniru-niru adapt kebiasaan masa lalu pria dan wanita mengenakan sarung hingga mata kaki (sampu’ ,yang dinamakan unrai bagi perempuan), menyerupai awi’ yang kini digunakan pengantin laki-laki. Pada perempuan sarung tersebut dililit dengan sebuah ikat pinggan logam. Sedangkan pada pria, sarung di lilit dengan sabuk tenunan dan diselipkan sebuah senjata tajam atau badik (gajang)
Rumah Adat
Baik para bangsawan dan rakyat biasa tinggal dirumah panggung, namun istana (langkana atau sao kuta bagi dewa-dewa) sama dengan rumah biasa, namun ukuranya lebih besar dengan panjang sekurang-kurang nya 12 Tiang dan lebar 9 Tiang. Rumah tersebut memiliki tanda khusus untuk menunjukkan derajat penghuninya.
Tarian Dan Hiburan Rakyat
Tarian yang sering digunakan untuk menjamu tamu kadang-kadang menarikan tari “maluku†(sere maloku) . namun tidak disebutkan adanya pembacaan naskah secara berirama (ma’sure’selleng) yang sangat popular dilakukan pada acara-acara seperti itu di lingkungan bangsawan hingga abad ke 20.
Hiburan utama adalah sabung ayam atau adu perkelahian ayam (ma’saung) hamper disetiap istana dibawah pohon cempa (ri awa cempa) berdiri gelanggang atau arena sabung ayam ber atap tapi tidak berdinding.
Hiburan rakyat lainnya adalah “raga†sebuah permainan kaum pria dalam suatu lingkaran yang memainkan bola rotan anyaman yang menyerupai bola takraw. Bola tersebut tidak dibolehkan menyentuh tanah atau tersentuh tangan. Pemenangnya adalah pemain yang paling lama memainkan bola dengan kaki atau badannya (selain tangan) dan dapat menendang bolanya paling tinggi ke udarah.
PERANG
Boleh dikatankan perang dalam taraf tertentu merupakan hiburan bagi kaum lelaki. Juga merupakan medan untuk menguji kejantanan para pemberani (to warani). Alat yang digunakan dalam peperangan adalah Sumpit (seppu’) dengan anak panah beracun, Tombak (bessi), pedang pendek (alameng), senjata penikam atau badik (gajang)
Masyarakat yang digambarkan dalam epos La Galigo tampak sangat hirarkis. Datu, sang penguasa orang yang paling terkemuka dalam kerajaan. Dialah yang menjaga keseimbangan lingkungan , baik itu lingkungan alam maupun lingkungan social, dan merupakan pewaris keturunan dewa dimuka bumi.
Sebenarnya bukan hanya datu tetapi seluruh bangsawan dalam tingkatan tertentu ikut memegang status keramat, karena mereka semua dianggap sebagai keturunan dewata. Mereka semua dipercaya memiliki darah putih (dara takku)
Dalam dunia bugis kuno kalangan biasa yang berdarah merah dipandang memiliki perbedaan Fundamental dari bangsawan berdarah putih yang membawa esensi kedewataan kemuka bumi.
Penulis E-Book Bugisku : Amien.azies (pelajar)
Email : maminkazies@gmail.com
Referensi : Buku : Manusia Bugis
Selengkapnya...
mengenal suku bugisku
SEJARAH SINGKAT KOTAKU (MAKASSAR)
Kota Makassar yang pernah bernama Ujung Pandang adalah wilayah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang terletak pada pesisir pantai sebelah barat semenanjung Sulawesi Selatan. Pada mulanya merupakan bandar kecil yang didiami oleh Suku Makassar dan Bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung dengan perahu PINISI atau PALARI. Jika ditinjau dari sejarah Kerajaan Majapahit dibawah Raja HAYAM WURUK (1350-1389) dengan Maha Patih GAJAH MADA bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Gowa ke-II TUMASALANGGA BARAYA (1345-1370), Makasar (Makassar) sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab Negarakertagama karangan PRAPANCA (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi.
MASA SEJAK BERDIRINYA KERAJAAN GOWA DAN KERAJAAN TALLO
1. Kerajaan Gowa berdiri kira-kira tahun 1300 Masehi dengan raja yang pertama adalah seorang perempuan bernama TUMANURUNG (1320-1345) yang kawin dengan KARAENG BAYO berasal dari Bonthain yang menurunkan raja-raja Gowa selanjutnya.
2. Pusat Kerajaan Gowa ini terletak diatas bukit Takka'bassia yang kemudian berubah namanya menjadi Tamalate, tempat ini menjadi pusat Kerajaan Gowa sampai kepada masa pemerintahan Raja Gowa ke-VIII I-PAKERE TAU TUNIJALLO RI PASSUKKI (1460-1510).
3. Dalam masa pemerintahan Raja Gowa ke-VI TUNATANGKA LOPI 1445-1460) terjadi pembagian kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, masing-masing dipegang oleh kedua puteranya yaitu Kerajaan Gowa dipegang oleh BATARA GOWA TUNIAWANGA RI PARALEKKANNA sebagai Raja Gowa ke-VII (1460) dan Kerajaan Tallo dipegang oleh KARAENG LOE RI SERO sebagai Raja Tallo Pertama.
Selengkapnya...
MAKASSAR
Kota Makassar (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya; dari 1971 hingga 1999 secara resmi dikenal sebagai Ujungpandang atau Ujung Pandang dan kembali berganti nama makassar ) adalah sebuah kotamadya dan sekaligus ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Kotamadya ini adalah kota terbesar di pada 5°8′S 119°25′E / 5.133°S 119.417°E / -5.133; 119.417Koordinat: 5°8′S 119°25′E / 5.133°S 119.417°E / -5.133; 119.417, di pesisir barat daya pulau Sulawesi, menghadap Selat Makassar. Makassar dikenal mempunyai Pantai Losari yang indah.
Makassar berbatasan Selat Makassar di sebelah barat, Kabupaten Kepulauan Pangkajene di sebelah utara, Kabupaten Maros di sebelah timur dan Kabupaten Gowa di sebelah selatan.
Kota ini termasuk kota kosmopolis, banyak suku bangsa tinggal di sini. Di kota ini ada suku Makassar,Bugis,Toraja dan Mandar.Di kota ini ada pula komunitas Tionghoa yang cukup besar. Makanan khas Makassar adalah Coto Makassar, Roti Maros, Kue Tori', Palabutung,Pisang Ijo, Sop Saudara, dan Sop Konro.
Makassar memiliki wilayah seluas 175,77 km² dan penduduk sebesar kurang lebih 1,25 juta jiwa.dituli oleh amien.
Selengkapnya...
makassar kulle toji
Bahasa Makassar bisa tonji cez..!!!!!!!!
Untuk semua kawula muda yang ada di makassar, mari kita kedepankan budaya Makassar, kita jangan mau dikalah dengan budaya barat yang membuat kita beda,,untuk itu apa salahnya klo kita berbahasa daerah makassar yang baik dan benar..OK!! anTe kamma??Cocoki toh!!! Mari kedepankan budaya Makassar!!!!!!!
Mengenal watak orang Bugis Makassar
Suku Bugis Makassar dikenal penaik darah, suka mengamuk, membunuh dan
mau mati untuk sesuatu
perkara, meski hanya masalah sepele saja. Apa sebab sehingga demikian?
Ada apa dengan jiwa
karakter suku bangsa ini?
Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar terpaksa membunuh atau
melakukan pertumpahan darah,
biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya
terjadi hal demikian,
jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti –sehingga
dapat dimengerti dengan
jelas- apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau ia mau mati
untuk seseorang.
Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku
bangsa ini lebih dekat lagi
dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat
istiadat dan
kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam
syair-syair atau
pantun-pantunnya.
Laksana garis cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih
mendalam, tampaklah bahwa
kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu dan
dipermalukan. Soal malu dan
dipermalukan banyak diwarnai oleh kejadian-kejadian yang dilatari adat
yang sangat kuat. Sebut
saja satu, silariang (kawin lari) misalnya, atau dalam bahasa Belanda:
Schaking.
Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu
ia berdaya upaya agar sang
gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada
pemuda), atau si pemuda itu
berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang).
Apabila hal ini terjadi, maka
dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa
mendapat "Malu Besar" (Mate
Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang, segera digencarkan
pencarian untuk satu tujuan:
membunuh pemuda dan gadis itu! Cara ini sama sekali tidak dianggap
sebagai tindakan yang kejam,
bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas perbuatan mereka yang
memalukan. Oleh orang Bugis
Makassar menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu
tuntutan tata hidup dari
masyarakatnya yang disebut adat.
Selain itu, kedua suku Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang
berani sejak dahulukala
hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan
angin dan gelombang lautan,
maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak tidak mau
tenang itu, mempengaruhi
jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam
pepatah, syair atau pantun yang
berhubungan dengan keadaan laut, yang kemudian memantulkan bayangan
betapa watak atau sifat kedua
suku bangsa itu. Contoh salah satu pantun:
Takunjunga’ bangung turu’
Nakugunciri’ gulingku
Kualleangna talaanga natolia
Artinya: "saya tidak begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu
saja memutar kemudi saya.
Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali." Maksudnya, kalau langkah
sudah terayun, berpantang
surut –lebih suka tenggelam- daripada kembali dengan tangan hampa.
Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati yang begitu keras. Tapi,
benarkah begitu? Justru
sebaliknya, orang Bugis Makassar memiliki hati yang halus dan lembut.
Dari penjelasan di atas
nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan
perasaannya daripada pikirannya.
Ia lebih cepat merasa. Begitu halus perasaannya sampai-sampai hanya
persoalan kecil saja dalam
cara mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan
kesan yang lain pada
perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat
istiadatnya, maka kita tengah
berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan santun, bahkan kalau
perlu ia rela mengeluarkan
segala isi hatinya –bahkan jiwanya sekalipun- kepada kita.
Jika ada orang Makassar telah mengucapkan perkataan "Baji’na tau" atau
"Baji’tojengi tau I Baso"
(maksudnya: Alangkah baiknya orang itu atau alangkah baik hati si
Baso), maka itu cukup menjadi
suatu tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso,
maka ia rela turut
merasakannya. Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso.
Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso di
tengah jalan, jika
didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal menghadapi lawan
itu, meski tidak dimintai
bantuannya. Ia mau mati untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah
dipandangnya sebagai orang
baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia,
solider dan kuat pendirian.
Meski tak jarang yang memplesetkan kata Makassar sebagai "Manusia
Kasar".
Makassar, Great Expectation to the World!!!!!!
Dituliskan oleh amien
Minggu, 2008 November 16
“Makan Mi’..!”
Membaca judul di atas orang tentu akan berpikir kalau itu bermakna mengajak orang untuk makan mie. Tapi coba ucapkan kalimat itu pada orang Sul-sel ato minimal orang yang tau logat lokal sini, ditanggung maknanya akan beda. Penggunaan partikel MI di belakang kata “makan” bagi orang Sul-Sel bermakna mempersilakan atau secara kasar menyuruh, jadi makna kalimat “makan mi” bagi orang Sul-Sel kurang lebih sama dengan “silakan makan”.
Logat dalam bahasa Indonesia orang Sul-Sel memang unik, penggunaan beberapa partikel di belakang kata-kata utama sangat memberi warna bagi bahasa itu sendiri. Kadang-kadang partikel itu sendiri agak sulit untuk ditentukan definisi khususnya, utamanya tentang penempatan partikel tersebut. Ambil contoh partikel MI di atas, dalam kalimat “makan mi”, partikel MI bermakna mempersilakan, tapi dalam kalimat lain, misalnya ” besar mi”, partikel mi berubah fungsi sebagai penegasan kalau orang/benda yang dimaksud telah besar (dewasa). Dalam kalimat lain, misalnya “jadi satumi” partikel MI kembali berfungsi sebagai penegasan jika benda/orang telah menjadi satu, beda dengan kalimat lain seperti “ambil mi” dimana MI berfungsi kembali untuk mempersilakan orang mengambil barang/benda. Cukup membingungkan, bukan?
Padahal itu baru satu partikel, masih banyak partikel lain yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia versi Sul-Sel, partikel itu adalah: PI,JI,KI,MO. Beberapa contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:
• Partikel PI = “satu pi” (bermakna menegaskan kalau subjeknya masih kurang satu lagi),contoh yang berbeda: “malam pi” yang artinya kurang lebih “nanti malam”, biasanya dipakai untuk kalimat seperti “malam pi ko datang” (kamu datangnya ntar malam aja).
• Partikel JI = khusus pada partikel ini, maknanya kurang lebih sama dengan hanya,contohnya pada kalimat “satuji saya bawa” yang artinya kurang lebih “saya cuman bawa satu” (perhatikan tatanan penempatan kalimat yang agak berantakan..hehehe). Tapi kadang-kadang partikel ini juga bermakna menegaskan, misalnya pada kalimat ” besarji rumahnya ” yang artinya sama dengan ” rumah besar kok..”, wah anda mungkin makin bingung..
Sebagai info, Propinsi Sulawesi Selatan terdiri atas banyak suku yang berbeda dan kemudian digolongkan dalam 3 kelompok suku terbesar (dulunya ada 4 sebelum suku Mandar sekarang mayoritasnya berada dalam wilayah Sulawesi Barat). Suku-suku itu adalah : Bugis,Makassar dan Toraja yang ketiganya memiliki perbedaan mencolok dari segi bahasa daerah. Ketiga suku tersebut kemudian terpisah lagi dalam beberapa sub-suku yang lebih kecil. Suku Bugis misalnya, ada Bugis Bone (yg lingkup bahasa dan wilayahnya paling luas), bugis Sinjai dan beberapa sub suku Bugis lainnya yang kadang-kadang juga punya bahasa yang agak berbeda. Sementara suku Makassar terbagi atas beberapa sub suku yang lebih kecil yang mempunyai logat dan bahasa yang juga berbeda, misalnya daerah Bulukumba dan Selayar yang secara fisik dianggap suku Makassar namun memiliki bahasa daerah yang lumayan berbeda dengan bahasa Makassarnya orang Gowa dan Takalar.
Sebagai info lagi, sebuah kabupaten kecil sebelah utara kota Makassar bernama Enrekang terbagi atas 3 daerah berbahasa berbeda, sebelah selatan bahasanya mirip bahasa Bugis karena memang berbatasan langsung dengan daerah suku Bugis, bagian tengah berbahasa daerah sendiri, sementara bagian utara berbahasa daerah yang mirip bahasa Toraja karena memang berbatasan langsung dengan daerah Toraja. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya orang-orang di Sul-Sel kalau bahasa Indonesia tidak ada.
Bahasa Indonesia yang kemudian dipakai sebagai bahasa pemersatu kemudian ter-influence oleh bahasa daerah itu sendiri. Beberapa istilah bahasa daerah kemudian ikut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia, di antaranya ya partikel-partikel itu tadi. Celakanya peleburan bahasa daerah ini ke dalam bahasa Indonesia juga mengacaukan susunan kalimat, merusak tatanan MD, Subjek Objek sehingga terkadang logat Sul-Sel terdengar sangat kacau. Dengarkan kalimat ini: “malam pi baru saya bawa bukumu nah..?”, yang dalam bahasa Indonesia yang benar kira-kira seperti ini ” bukumu aku bawa nanti malam saja ya ?”. kacau kan..?,hehehe..
Penggunaan bahasa Indonesia logat Sul-Sel ini juga terkesan sangat menghemat penggunaan kata,walaupun ya itu tadi,merusak tatanan bahasa yang benar. Sebagai contoh lagi: “kau mo yang bawaki” atau sama dengan kalimat ” nanti biar kamu aja yang bawa”..cukup hemat bukan ?,belum lagi bila diucapkan terkadang ada discount lagi menjadi ” ko mo yang bawaki “..terkesan males banget ya..?,hehehe..
Itu baru segelintir contoh-contoh dari uniknya bahasa Indonesianya orang Sul-Sel, sangat beragam dan kadang-kadang bagi orang luar Sulawesi jadi terdengar lucu. Tapi ya itulah keistimewaan Indonesia yang punya banyak keanekaragaman yang memperkaya khazanah budaya kita. Jadi,bila anda berkunjung ke Makassar jangan salah sangka bila ada orang yang berkata kepada anda “makan mi”,jangan sampai anda mengira ditawari makan mie..hehehe..
Makassar bisa tonji *
*: Makassar juga bisa, diambil dari judul lagu band lokal Art2Tonic, istilah ini cukup populer digunakan untuk membangkitkan fanatisme kedaerahan anak muda Makassar yang belakangan mulai sering sok ngomong pakai logat Jakarte.
Dituliskan oleh amien
Pappilajarang Bahasa Mangkasara Bagian 2'
Pelajaran Pertama tentang Kata Tanya
1. What = APA
2. How = ANTEKAMMA
3. Who = INAI
4. When= SINGAPANNA
5. di/kemana = KEMAE
6. berapa = SIAPA
7. mau kemana = IA KEKO(I) MAE/IA KEMAEKO(I)
Pelajaran Kedua tentang Organ Tubuh
8. mata = MATA
9. telinga = TOLING
10.hidung = KA'MURUNG
11.mulut = BAWA
12.dahi = ABANG
13.kepala = ULU
14.rambut= U'
maafkanka = PAMOPPORANGA
Pelajaran ketiga tentang .....
15. Buku -= bo'bo
16. pensil = potolo
17. pulpen = pulpeng
18. pintu = pake'bu
19. sumur = bungung
20. jendela = tontongang
21. kursi = kadera
22. tangga = tuka
23. rumah = balla''
24. gelas = kaca
25. piring = panne
26.sendok = sinru
27.nasi ( makan ) = kanre
28.air minum = je'ne inung
29.tempat tidur = katinroang
30.guling/bantal = pa'lungang
31.lemari = lamari
Sumber : http://afazuva.multiply.com/journal/item/229/Belajar_Bahasa_Makassar_2
Dituliskan oleh amien
Pappilajarang Bahasa Mangkasara'
sekarang yang sering2mo lagi dipake: Bilangan
Bilangan
1 = Se're
2 = Rua
3 = Tallu
4 = Appa'
5 = Lima
6 = Annang
7 = Tuju
8 = Sagangtuju/Sagantuju(??)
9 = Salapang
10 = Sampulo
11 = Sampulo se're
12 = Sampula rua
...
20 = ruampulo
21 = ruampulo se're
22 = ruampula rua
30 = tallumpulo
40 = patampulo
50 = limampulo
60 = annampulo
70 = tujumpulo
80 = sagantujumpulo
90 = salapampulo
100 = sibilangngang
101 = sibilangngang se're
200 = ruambilangngang
400 = patambilangngang
1.000 = sisa'bu
2.000 = rua sa'bu
4.000 = patang sa'bu
10.000 = sampulo sa'bu
40.000 = patampulo sa'bu
100.000 = sibilangngang sa'bu
200.000 = ruambilangngang sa'bu
400.000 = patambilangngang sa'bu
1.000.000 = se're juta
2.000.000 = rua juta
Selain bilangan ordinal di dalam bahasa Makassar juga dikenal bilangan kardinal (urutan). Penyebutan bilangan kardinal dalam bahasa Makassar selalu di awali dengan imbuhan depan (prefiks) maka.
Bilangan Kardinal
Pertama = makase're
Kedua = makarua
Ketiga = makatallu
...
Selain itu, penyebutan bilangan perulangan juga dikenal di dalam bahasa Makassar. Penyebutan perulangan ditandai dengan prefiks pi dan perubahannya.
Bilangan Perulangan
Satu kali = pingse're = sikali (sering digunakan saat2 ini, ndak yakin bahasa Makassar asli ato tidak...)
Dua kali = pinrua
Tiga kali = pintallu
Empat kali = pingappa'
Lima kali = pinglima = pillima (lebih sering saya dengar)
Enam kali = pingannang
Tujuh kali = pintuju
Delapan kali = pissagantuju
Sembilan kali = pissalapang
Sepuluh kali = pissampulo
Sering juga terdengar penggunaan bilangan di atas untuk menyatakan kesatuan / pemisahan / pembagian kelompok benda, contoh:
Satukan saja semua kertasnya = Pingse're ngasemmintu karattasaka
contoh lain, misalnya ada beberapa biji bawang yang akan dipisahkan ke dalam dua tempat,
Bagi dua (bukan potong dua) bawang itu, agar tidak tidak mengambil banyak tempat = Pinrua mintu lasunayya, solanna tena najai tampaka nialle
Sumber : http://forum.detik.com/showthread.php?t=28976&page=5
Jumat, 2008 November 07
sejarahNa Suku Makassar
Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau S
ulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat Terbuka.
Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah,
gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa,
mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang
besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau
Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian
utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh
kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis).
Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat
adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.
Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun.
Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah
kedua etnis ini. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda,
segala potensi dimatikan, mengingat Suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda.
Dim anapun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang
menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa memerangi Belanda disana.
Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui.
Sejarah Makassar masih sangat panjang. Generasi demi generasi yang terampas harga diri dan
kepercayaan dirinya sedang bangkit bertahap demi bertahap sambil berusaha menyambung
kebesaran nama Makassar, "Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku. Tamammelokka
Punna Teai Labuang"
Dituliskan oleh amien
Senin, 2008 November 03
Pancasila Versi Bahasa Makassar
Pancasila Versi Bahasa Makassar
LIMA PASSALA (Bicara Mangkasara)
1(Se're). Annyombaki Rikaraeng Mase're
2(Rua). Accera Sitongka-tongka Rilalang Pangadakkang
3(Tallu). Abbulo Sibatang Ri Pa'rasanganta
4(Appa'). Na Iyya Rakyaka Ammile Wakkele Poro Langatoroki Ri Sikamma Rupa Taua
5(Lima). Adelekki Mange Ri Sikamma Tuma'buttaya
Kira-kira itulah Pancasila kalo diartikan kedalam Bahasa Makassar. Mohon maaf sebelumnya kalo ada yang salah dengan tulisan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan Pancasila cuman agak penasaran saja gimana yah kalo Pancasila diartikan kedalam Bahasa Daerah.
Terbukti menarik perhatian banyak rekan2 karena lewat Mailing List di Yahoo, banyak sekali rekan2 yang memasukkan dalam versi bahasa daerah mereka.
Jadi intinya walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua yaitu Pancasila.
Aditulis oleh amien
Selengkapnya...
bab II
Bab II Kota Makassar pada 2008 ini konon sudah berusia 401 tahun. Untuk menelusuri kembali sejarah kota berjuluk “Kota Daeng” dan “Kota Angingmammiri” itu, SAYA TERTARIK untuk merangkumnya.
Makassar adalah nama tempat bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Kerajaan kembar itulah yang kemudian menyandang nama Kerajaan Makassar.
Nama Makassar sudah disebut dalam naskah kuno Jawa, Negara Kertagama, yang ditulis oleh Prapanca, pada 1364. Naskah itu juga menyebut nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar.
”Nama tempat yang yang disebut Makassar (dalam naskah itu, red) belum dapat diidentifikasi hingga sekarang,” kata sejarawan dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Edward L Poelinggomang.
Dalam tradisi pelaut dan pedagang yang berniaga ke Maluku, kawasan yang pulau-pulaunya berada di utara Pulau Sumbawa disebut dengan nama Makassar.
Tradisi penyebutan pulau-pulau tersebut dari para pelaut dan pedagang, kemudian diserap oleh pelaut dan pedagang Portugis setelah merebut dan menduduki Malaka.
Dalam catatan Tome Pores, diungkapkan bahwa pedagang-pedagang Melayu menginformasikan adanya jalur paling singkat dalam pelayaran ke Maluku, yaitu melalui Makassar (Cortesao, 1944).
Informasi itu mendorong pelaut dan pedagang Portugis menelusuri jalur pelayaran tersebut, sehingga dalam peta pelayaran pengembara Portugis, Pulau Kalimantan diberi nama ”Pulau Makassar yang Besar” (Gramdos ilha de Macazar), sedangkan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya disebut ”Pulau-pulau Makassar (Ilhas dos Macazar).
Selain itu, kota-kota pelabuhan yang berada di pesisir barat Sulawesi yang menjadi tempat singgah dalam pelayaran ke Maluku, juga diberikan predikat Makassar, antara lain Siang Makassar, Bacukiki Makassar, Suppa Makassar, Sidenreng Makassar, Napo Makassar, dan Tallo Makassar.
Edward L Poelinggoman mengatakan, bandar niaga Makassar terbentuk dari dua bandar niaga dari kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir muara Sungai Bira (Sungai Tallo), serta bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir muara sungai Jeneberang.
Dua kerajaan tetangga itu kemudian berhasil membentuk persekutuan pada 1528, setelah melalui pemufakatan penyelesaian konflik (perang). Kesepakatan itu berpengaruh bagi rakyatnya dan semua yang mengenal dua kerajaan kembar itu, sehingga muncul ungkapan ‘’satu rakyat, dua raja” (se’reji ata narua karaeng).
Persekutuan yang dibangun itu bersifat menyatukan dua kerajaan dalam kehidupan kenegaraan, tetapi tetap mengakui kedudukan kekuasaan masing-masing sebagai kerajaan.
Kerajaan Gowa ditempatkan sebagai pemegang kendali kekuasaan kerajaan kembar itu (sombaya), sedangkan Raja Tallo sebagai pejabat mangkubumi (tuma’bicara butta)
Selengkapnya...
mengenal kota makassar
Mungkin sebagian besar pembaca belum paham, darimana sesungguhnya asal kata “Makassar” itu. Dibawah ini, uraian yang dikutip dari situs Pemerintah Kota Makassar yang mengungkap asal-usul kata “Makassar” itu.
Menyambut usia ke-400 tahun (09 Nopember 2007), Kota Makassar masih terbilang muda jika dibandingkan sejarah nama Makassar yang jauh menembus masa lampau. Tapi tahukah Anda muasal dan nilai luhur makna nama Makassar itu?
Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma’bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum’at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.
Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda “Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama “Makassar”, yakni diambil dari nama “Akkasaraki Nabbiya”, artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma’mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato’ ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama “Makassar” dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1. Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu “Ampakasaraki”, yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. “Mangkasarak” mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa “Mangkasarak” orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
2. Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama ” Makassar”. Abad ke-16 “Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
3. Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem ikat “mang” dan morfem bebas “kasarak”. Morfem ikat “mang” mengandung arti:
1. Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
2. Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. -Morfem bebas “kasarak” mengandung arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus).
Jadi, kata “Mangkasarak” Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak” berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.
John A.F. Schut dalam buku “De Volken van Nederlandsch lndie” jilid I yang beracara: De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: “Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai ¬sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah”.
Dalam ungkapan “Akkana Mangkasarak”, maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata “Mangkasarak” ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Selengkapnya...